SELAMAT DATANG DI WEBSITE PENGADILAN AGAMA BANJARNEGARA

Website ini adalah wujud komitmen kami dalam rangka menunjang keterbukaan informasi bagi masyarakat luas khususnya bagi para pencari keadilan di wilayah Kabupaten Banjarnegara.
SELAMAT DATANG DI WEBSITE PENGADILAN AGAMA BANJARNEGARA

Selamat dan Sukses

Selamat dan Sukses, atas terpilihnya Y.M. H. Suharto, S.H., M.Hum. sebagai Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial
Selamat dan Sukses

Pesan Dirjen Badilag!

Pesan Dirjen Badilag!

Program Prioritas

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah menetapkan program prioritas Tahun 2024, yaitu : 1. Penguatan Integritas, 2. Peningkatan Kualitas Layanan Peradilan, 3. Penguatan Kelembagaan, 4. Penguatan Kepemimpinan dan SDM 5. Penguatas Teknologi Informasi
Program Prioritas

Layanan Informasi Melalui WhatsApp

Manfaatkan layanan informasi melalui WhatsApp resmi Pengadilan Agama Banjarnegara pada nomor 0858-48-1717-18. Pelayanan informasi diberikan pada hari dan jam kerja.
Layanan Informasi Melalui WhatsApp

E-COURT

Manfaatkan layanan e-Court Mahkamah Agung untuk proses berperkara secara online. Layanan yang diberikan berupa pendaftaran perkara secara online, pembayaran biaya secara online, pemanggilan secara online dan pengiriman dokumen persidangan (jawaban, replik, duplik dan kesimpulan) secara online.
E-COURT

STOP GRATIFIKASI

Apabila anda melihat, mendengar atau mengalami kejadian yang menunjukan indikasi penyalahgunaan wewenang, penyimpangan atau pelanggaran perlaku Aparat Pengadilan. Ajukan Laporan Pengaduan anda secara tertulis melalui meja informasi/Pengaduan pada Pimpinan Pengadilan Agama Banjarnegara pada hari dan Jam Kerja
STOP GRATIFIKASI

GUGATAN MANDIRI

Hindari calo dengan memanfaatkan Aplikasi Pembuatan Gugatan / Permohonan Online Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Aplikasi ini bisa diakses dari mana saja dan kapan saja.
GUGATAN MANDIRI

telusur

 

telusur

 

info produk

 

siwas

 

jadwalsid

telusur

  dirput   valid ac   guman   daftarecourt
 
 

Dispensasi Nikah, Bagai Makan Buah Simalakama

Catatan Akhir Tahun 2022

Oleh HM. Dihan

 

Pernah dengar nama buah yang sering digunakan sebagai perumpamaan? Salah satunya adalah buah simalakama. Ya, buah Simalakama. Bagai makan buah simalakama. Inilah pepatah atau peribahasa yang populer digunakan untuk sebuah kondisi yang sama-sama sulit dilakukan. Kalimat itu identik dengan kalimat “Maju Kena Mundur pun Kena”. Pepatah ini menggambarkan seseorang yang berada di antara dua pilihan sulit.

Lalu apa hubungannya dengan Dispensasi Nikah?

Sebelum mengupas lebih jauh, perlu kita lihat dulu apa itu Dispensasi Nikah atau Dispesasi Kawin. Dispensasi Nikah merupakan upaya bagi mereka yang ingin menikah namun belum mencukupi batas usia untuk menikah yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga orang tua bagi anak yang belum cukup umurnya tersebut harus mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama melalui proses persidangan. Singkatnya dispensasi nikah ini merupakan kelonggaran hukum bagi mereka yang tidak memenuhi syarat perkawinan secara hukum positif, oleh karena itu undang-undang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan dispensasi nikah, setelah melalui pertimbangan yang matang.

1Dasar Hukum Dispensasi Nikah adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 di dalam Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Aturan ini telah diperbaharui dengan Undang-undang No.16 tahun 2019 pada Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Adapun yang menjadi pertimbangan adanya perubahan pasal mengenai umur perkawinan tersebut adalah sebagaimana pada konsideran huruf b yang berbunyi bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. Terlepas dari itu semua, perkawinan bocah tetaplah menyisakan persoalan.

Problema muncul ketika salah satu atau kedua calon mempelai belum berumur 19 tahun. Problem ini semakin dirasakan pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 16 tahun 2019, yang tadinya untuk laki-laki 19 tahun, perempuan16 tahun, menjadi, baik calon pengantin laki-laki maupun perempuan harus 19 tahun.

2Dari pasal tersebut ditentukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan untuk bisa menikah harus sudah berumur 19 tahun. Masih dari Pasal 7, pada ayat (2) ditentukan bahwa Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.

Dari ayat tersebut, disebutkan bahwa dalam hal terjadi penyimpangan dari ketentuan mengenai umur nikah tersebut harus diajukan Dispensasi Kawin, selanjutnya disebut perkara “Diska”, ke Pengadilan Agama dengan mengemukakan alasan yang mendesak disertai bukti-bukti yang cukup. Artinya jika calon pengantin belum berumur 19 tahun maka untuk bisa menikah, harus mengajukan permohonan “Diska” disertai alasan-alasan yang mendesak dan bukti yang cukup. Mengenai alasan-alasan yang mendesak sehingga perkawinan yang mestinya baru diijinkan jika calon pengantin berumur 19 tahun, sangat beragam.

Jika dibandingkan jumlah perkara yang sama pada tahun sebelumnya, 2021 berjumlah 865, di mana tahun tersebut merupakan masa transisi adanya perubahan umur dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun baik bagi perempuan maupun laki-laki, sehingga mengalami pelonjakan jumlah perkara “Diska”. Jumlah ini dapat dipahami, karena adanya perubahan regulasi tentang umur calon pengantin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan kata lain dengan aturan perempuan boleh menikah harus berumur 16 tahun saja, perkara Diska sudah banyak, apalagi dengan adanya aturan baru, umur menikah laki-laki dan perempuan harus 19 tahun. Artinya sebelum adanya peraturan baru, bagi perempuan yang mau menikah jika sudah berumur 17 atau 18 tahun tidak perlu harus mengajukan permohonan dispensasi nikah, dan hal ini oleh masyarakat dianggap hal yang biasa, sehingga praktis sejak adanya perubahan aturan ini, jumlah perkara “Diska” akan mengalami pelonjakan karena sebelum berumur 19 tahun harus mengajukan permohonan Diska.

Sekadar membandingkan, di sini perlu dikemukakan tentang jumlah perkara Dispensasi Kawin di PA Banjarnegara sebelum adanya perubahan peraturan baru mengenai umur menikah, yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 20l9 yaitu 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan.

 

NO

TAHUN

JML PERKARA DISKA

KENAIKAN (%)

1.

2017

201

-

2.

2018

224

11,44%

3.

2019

433

93,30%

4.

2020

775

78,98%

5.

2021

865

11,61%

6.

2022

681

- 21,27%*)

*)

Tahun 2022 mengalami penurunan jumlah perkara Diska sebesar 21,27% dari tahun 2021

Dari data di atas, dapat dibaca bahwa di PA Banjarnegara, perkara Permohonan Dispensasi Kawin pada saat tulisan ini dibuat, 21 Desember 2022 berjumlah 681 perkara, mengalami penurunan sebesar 21,27% dari tahun sebelumnya, tahun 2021 yang berjumlah 865 perkara.

Dari data tersebut pula diketahui bahwa jumlah perkara Dispensasi Kawin pada tahun 2019, berjumlah 433 perkara. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah perkara yang sama di tahun sebelumnya, 2018, yaitu sebanyak 224 perkara, dan 201 perkara di tahun 2017. Dapat dipahami bahwa masa transisi perubahan aturan tentang umur menikah sejak 15 Oktober 2019 ini berdampak pada meningkatnya jumlah perkara permohonan “Diska” sebanyak 93,30%. Dari data ini juga, dapat disimpulkan bahwa di Banjarnegara, masih banyak terjadi perkawinan pada usia berkisar antara umur 16 - 19 tahun.

Dari perkara “Diska” yang masuk tahun 2022, semuanya mengemukakan alasan yang “mendesak”. Dari jumlah tersebut sebagian besar alasan yang mendesak dari permohonan “Diska” ini adalah karena hubungan kedua calon pengantin ini sudah sedemikian eratnya, bahkan tidak sedikit di antaranya yang telah melakukan hal yang seharusnya baru boleh dilakukan ketika sudah menjadi suami istri. Satu hal yang menjadi catatan Penulis adalah, – setelah Penulis mengamati “posita” sebagai alasan yang diajukan oleh orang tua calon mempelai yang belum cukup umur – konon kabarnya, dan ini masih perlu penelitian lebih lanjut, adalah para orang tua calon pengantin perempuan sudah menerima lamaran dari calon suaminya, sehingga karena sudah diterima, seakan-akan anaknya dan laki-laki pelamar sudah boleh “runtang-runtung” bahkan ada yang sudah membolehkan sekamar. Selain itu salah satu alasan yang mendesak yang sering dijadikan sebagai alasan dalam “posita” permohonan perkaranya adalah juga rasa malu para orang tua yang anaknya sudah kesana-kemari” dengan pacarnya. Sehingga untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dilarang baik oleh agama atau norma-norma lainnya, maka para orangtua merasa perlu segera menikahkan anaknya tersebut.

Picture3Mungkin, - tentu masih perlu penelitian lebih lanjut - besarnya jumlah perkara Diska di tahun 2021 juga dipengaruhi oleh adanya perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat berbarengan dengan kebijakan pemerintah, di mana siswa-siswi sekolah belajar secara daring atau online, sehingga membuka peluang besar bagi murid untuk berkomunikasi secara terbuka dan bebas dengan teman-temannya, termasuk di dalamnya komunikasi antar lawan jenis.

Pertanyaan yang kemudian muncul bagi para orang tua, adalah, anak perempuannya belum cukup umur 19 tahun, tapi kok lamarannya sudah diterima. Kalau lamaran sudah diterima, maka ini yang memicu dua calon sejoli ini untuk “runtang-runtung” karena merasa sudah “direstui” dan dimaklumi oleh orang tua maupun keluarga bahkan mungkin oleh warga setempat. Jika ini - anggapan merasa sudah direstui keluarga - benar, maka diperlukan “pemahaman agama” yang lebih mendalam khususnya mengenai bahwa hubungan laki-laki dan perempuan sebelum menikah adalah masih berstatus “haram”. Inilah yang perlu “didakwahkan” kepada masyarakat, tentang bahwa haram hukumnya hubungan laki-laki dan perempuan yang belum terikat dalam akad nikah, seperti “runtang-runtung”, atau bahkan “sekamar” apalagi sampai melakukan hubungan layaknya suami istri, dan ini yang bakal memicu terjadinya pelanggaran atas larangan Allah. Maka semestinya, jika umur anaknya belum genap 19 tahun, bagi orang tua perempuan, jangan dilamar dulu, tunggu hingga 19 tahun. Kalaupun dilamar, jangan “diterima dulu”, demikian pula sebaliknya, bagi orang tua laki-laki, jika belum berumur 19 tahun jangan melamar dulu, apalagi kepada perempuan yang umurnya belum genap 19 tahun.

Terhadap persoalan yang tidak bisa dianggap sepele ini, maka sangat diharapkan peran para da’i atau penyuluh agama harus masuk untuk memperbaiki pemahaman mereka, di samping secara formal para pemangku kekuasaan di semua tingkatan, perlu “turun tangan” bareng mengeluarkan kebijakan dan mengadakan pencerahan kepada masyarakat tentang dispensasi kawin yang berdampak cukup banyak menimbulkan persoalan baik sosial, ekonomi, dampak psikologisnya maupun kerentanan persoalan yang bakal dihadapi dalam rumah tangga dari pasangan yang masih belia ini.

Mungkin tidak sedikit pandangan di masyarakat, bahwa persoalan dispensasi kawin muncul karena dikabulkan oleh Pengadilan Agama, sehingga munculah suara miring terhadap PA sebagai pihak yang “meloloskan” pernikahan di bawah umur, atau sering disebut pernikahan dini inidengan menilai PA sebagai lembaga yang tidak mendukung perlindungan terhadap perempuan dan anak. Dalam pelbagai forum baik resmi maupun tidak resmi, orang sering nyinyir terhadap PA terkait dengan “diska” ini, dengan pandangan bahwa PA sebagai lembaga yang melegalkan pernikahan dini.  

Ironisnya, pernah ada satu perkara “Diska” di tempat Penulis pernah bertugas – tidak perlu penulis sebut nama dan dari mana – yang “menimpa” keluarga dari tokoh yang sebelumnya anti pernikahan dini, karena ada anggota keluarganya yang terpaksa harus segera menikah meski belum cukup umur, sehingga harus mengajukan permohonan “Diska”. Herannya ketika hal tersebut menimpa keluarganya, Ia datang ke PA “memohon” agar segera disidangkan dan dikabulkan permohonan Diska-nya. Ironis memang. Ketika menimpa orang lain ia menentang. Tetapi pada saat menimpa diri atau keluarganya, ia pun datang dan merengek-rengek mohon agar PA “segera” memeriksa dan mengabulkan perkaranya. Kondisi inilah yang ada di masyarakat kita. Di saat orang lain yang mengalami, ia bagai pahlawan anti pernikahan bocah ini. Tapi di saat menimpa dirinya, ia pun menginginkan agar segera mendapat jalan keluar dengan mengajukan permohonan di PA.

Seperti inilah masyarakat kita. Mereka, sesungguhnya datang ke PA untuk mengajukan permohonan Diska ini, juga karena “terpaksa”. Hampir tidak ada yang datang ke PA dengan sengaja mengajukan permohonan Diska ini tanpa ada hal yang mendesak. Mereka datang agar mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang menimpa anaknya. Mereka datang ke PA sesungguhnya dengan rasa malu. Tapi semacam apa boleh buat, bagai makan buah simalakama, harus mereka lakukan agar dapat mengurangi rasa malu akibat anaknya mungkin sudah hamil atau sudah melakukan hubungan yang seharusnya tidak boleh dilakukan sebelum menikah atau hubungan anaknya dengan calonnya sudah teramat dekat sehingga menimbulkan rasa “kekhawatiran” yang mendalam bagi orangtuanya.

Kita dapat membayangkan betapa rasa malu dialami oleh keluarga yang anaknya sudah berhubungan terlalu jauh sebelum masa menikah. Tidak sekadar rasa malu sesungguhnya, tetapi permasalahan semakin kompleks sebagai turunan dari masalah pernikahan di bawah umur ini. Yang sering dipermasalahkan oleh orang atau lembaga yang memandang sebelah mata terhadap PA terkait dengan masalah Diska ini adalah, seperti masalah kesehatan reproduksi yang belum matang, masa-lah  ekonomi yang belum mapan, masalah sosial yang belum saatnya, juga masalah komitmen dan tanggung jawab dari calon penganten di bawah umur yang belum terbangun dan sederet permasalahan yang timbul sebagai akibat perkawinan di bawah umur ini.

Tidak jarang Pengadilan Agama, semacam dipojokkan agar tidak terlalu gampang mengabulkan perkara permohonan Diska ini. Pandangan bahwa PA mudah mengabulkan Diska ini sesungguhnya pandangan yang salah. Setidaknya hal tersebut disampaikan oleh Hakim Agung, YM Dr.H.Purwosusilo, SH, MH, dalam sebuah wawancara dengan Penulis di Magelang pada tahun 2021, menanggapi sering disudutkannya PA berkaitan dengan permohonan Diska ini, dengan mengatakan, bahwa bagi Pengadilan Agama tidak perlu risau, karena yang dilakukan PA itu dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang. Apa lagi, tambah Hakim Agung kelahiran Pacitan ini, Hakim PA harus memedomani Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi KawinBahkan ketika ditolak pun, mereka mungkin akan melakukan nikah siri, dan ketika nikah siri maka rentetan masalah lainnya akan muncul, tambahnya.

Hakim yang menangani perkara Diska ini tentu selalu akan mempertimbangkan perkaranya secara komprehensif, sebagaimana kehendak Perma Nomor 5 Tahun 2019 tersebut. Selalu menghadirkan dan mendengar orang tuanya. Selalu mendengar suara hati para calon pengantin dini ini. Mereka, para orang tua sesungguhnya tidak mau hal ini terjadi. Tetapi apa boleh buat. Meski mereka para orang tua menyadari dari berbagai sisi (ekonomi, kesehatan reproduksi, sosial dan komitmen dll) kedua calon pengantin belum matang, akan tetapi harus dilakukan. Sebab jika tidak segera dinikahkan, maka masalah akan semakin rumit. Utamanya bagi calon pengantin perempuan yang sudah hamil, jika anak yang dikandung lahir, sementara bapak ibunya belum menikah, maka akan muncul permasalahan lain, yaitu tentang status anak tersebut. Jika anak lahir dari ibu dan bapak yang belum menikah sah menurut negara (belum punya buku nikah) maka anak tersebut termasuk anak yang tidak sah, karena lahir di luar nikah, maka muncul permasalahan berikutnya bahwa akta kelahiran dari anak tersebut hanya tercantum sebagai anak dari bapak dan ibunya yang perkawinannya belum tercatat. Jika anak ini masih kecil, mungkin tak terlalu masalah. Karena belum “merasa” membutuhkan bukti formal kelahirannya, yaitu Akta Kelahiran, atau belum merasa “ngeh” terhadap akibatnya jika Akta Kelahirannya hanya mencantumkan bahwa ia “hanya” anak dari bapak dan ibu yang belum menikah. Anak tersebut baru “sadar” bahwa di saat sudah bisa “berpikir”, ia akan mengatakan, “ternyata saya lahir dari bapak dan ibu yang belum menikah!”. Permasalahan lainnya yang berpotensi muncul adalah, jika anak sudah besar, ketika akan mencari kerja misalnya, dalam seleksi administrasi, “rekam jejaknya” dalam akta kelahiran akan terbaca bahwa anak tersebut anak dari bapak dan ibu yang bermasalah. Hal ini tentu akan “menjatuhkan” dirinya. Karena tentu perusahaan, lembaga atau instansi di mana anak tersebut akan bekerja, tentu akan “menyeleksi” bahwa mereka hanya menerima calon pegawai atau karyawan yang benar-benar “bersih” asal-usulnya. Artinya perusahaan, lembaga atau instansi hanya akan menerima orang yang “jelas”, yang ditunjukkan dengan akta kelahiran yang lahir dari Bapak dan Ibu yang tidak bermasalah.

Mungkin yang dikhawatirkan oleh mereka yang nyinyir terhadap PA terkait dengan Diska ini adalah bahwa pasangan suami istri yang masih belia ini akan berpotensi rapuh rumah tangganya yang pada gilirannya akan mudah pecah rumah tangganya. Untuk hal terakhir ini memang perlu penelitian lebih lanjut. Seberapa banyak rumah tangga gagal kemudian bercerai sebagai akibat atau dampak dari pernikahan usia anak ini. Karena selama ini belum ada yang secara khusus mengadakan penelitian mengenai hal tersebut. Yang ada hanyalah asumsi, bahwa banyak pasangan yang menikah di usia belia ini, kemudian bercerai yang disebabkan karena adanya dampak dari pernikahan di bawah umur. Tentu untuk sampai pada kesimpulan ini harus didukung dengan data yang sahih. Karena harus melihat alasan setiap perkara perceraian yang terjadi serta melihat usia pasangan pada saat menikah dulu.

Hal yang lebih penting dilakukan – dan ini yang sering dilupakan – adalah bagaimana peran serta orang tua, masyarakat dan para pemegang kebijakan untuk secara bersama-sama mencegah adanya pernikahan di usia belia ini. Di sinilah pentingnya “dakwah”, penyuluhan hukum dan pencerahan dari para guru ngaji, da’i dan mubaligh serta tokoh masyarakat maupun pemangku kebijakan untuk menanamkan kesadaran agamanya terkait dengan tata pergaulan di masa remaja. Yakinkan bahwa apa yang mereka lakukan, senantiasa dalam pengawasan “cctv” Allah SwT, yang 24 jam non stop dan dalam sudut pandang yang tak terbatas. Karena Allah Maha Mengetahui di mana dan kapan saja. Sering penulis sampaikan saat menasihati para orang tua yang menjadi Pemohon Diska ini, bahwa orang tua tidak mungkin mengawasi pergaulan anak remajanya 24 jam non stop. Apalagi di era teknologi informasi yang nyaris tak terbendung ini. Sehingga orang tua sangat perlu menanamkan keimanan pada anak-anaknya bahwa Allah SwT mengetahui apapun yang kita lakukan di manapun, dan kapanpun. Wallahu a’lam

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Banjarnegara

Jl. Letjend Suprapto

Telp: 0286-592810

Fax: 0286-591593

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Facebook : facebook.com/pabanjarnegara

Instagram : instagram.com/pa_banjarnegara

Twitter : twitter.com/PA_Banjarnegara

 

Pengadilan Agama Banjarnegara (c) 2020